Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keinginan yang Menjadi Kebahagiaan, Masalah, atau Penderitaan?

Keinginan yang Menjadi Kebahagiaan, Masalah, atau Penderitaan?

Setiap manusia punya keinginan, dan itu wajar. Namun, yang harus kita pahami adalah bahwa ada keinginan yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, ada juga keinginan yang hanya mendatangkan kesenangan sementara dan berpotensi menghadirkan kesedihan, bahkan ada keinginan yang justru menjadi sumber malapetaka.

Pertanyaannya, sudahkah kalian mampu mengenali keinginan kita ini berada di level yang mana? Apakah menjadi sumber kebahagiaan, berpotensi menghadirkan masalah, atau justru menjadi sumber malapetaka? Mari kita kenali semuanya.


Keinginan yang menjadi sumber kebahagiaan adalah ketika keinginan itu sangat terkait dengan kebutuhan dasar kita. Jika kita tidak memenuhi keinginan itu, maka hidup kita akan bermasalah, dan kita berpotensi mengalami kesulitan yang sangat pelik.

Contohnya, makan, tidur, istirahat, dan olahraga adalah keinginan-keinginan yang terkait dengan kemampuan manusia untuk terus bertahan hidup dan menjalani kehidupan. Jika manusia tidak memenuhi keinginan akan kebutuhan dasar ini, hidupnya akan menderita.

Misalnya, seseorang yang kurang tidur atau bahkan tidak bisa tidur, maka hidupnya akan kacau. Atau seseorang yang tidak memiliki pakaian; dia mungkin tidak lagi dianggap sebagai manusia normal. Mungkin kita akan menyebutnya gila.

Istirahat dan olahraga juga penting, sayangnya banyak orang tidak sadar bahwa olahraga itu adalah kebutuhan yang seharusnya menjadi keinginan kita. Jika kita mampu memenuhi keinginan-keinginan dasar yang terkait dengan mode bertahan hidup kita, maka hidup kita akan bahagia.

Coba penuhi kebutuhan dasarmu akan istirahat, penuhi kebutuhan dasarmu akan olahraga, penuhi kebutuhan dasarmu akan makanan, dan penuhi kebutuhan dasarmu akan pakaian. Jika semua terpenuhi, hidup kita akan nyaman.


Pada level kedua, ada keinginan yang hanya menghadirkan kesenangan tetapi berpotensi menghadirkan masalah atau menjadi sumber problem dalam hidup kita. Pada level ini, kita perlu bijak dalam menyikapinya dan cermat mengendalikannya. Dalam batas wajar, ini menyenangkan, tetapi jika berlebihan, justru menjadi masalah.

Contohnya, makan makanan manis itu menyenangkan dan bisa menjadi candu, tetapi jika berlebihan, ini menghadirkan masalah. Masalah kesehatan seperti diabetes bisa mengancam.

Masih tentang makan, makan adalah kebutuhan kita. Namun, ketika kita ingin makan di restoran, di tempat-tempat mewah yang harganya mungkin mencapai satu juta sekali makan, itu boleh-boleh saja asalkan kita mampu dan bisa mengendalikannya. 

Asalkan kita pantas dan secara finansial siap, melakukan hal itu sesekali sebagai bagian dari reward pada diri kita sendiri adalah sah-sah saja karena ini bisa menghadirkan kesenangan.

Tetapi, jika kita melakukannya tanpa batas dan tanpa kontrol, ini akan menghadirkan potensi masalah dari sudut pandang finansial. Apalagi, misalnya, jika menyangkut pakaian, sepatu, atau tas bermerk, ini adalah keinginan yang berada di level kedua ini.

Boleh kita mengikuti tren ini, asalkan kita tahu takarannya dan batasannya. Jika kita gagal mengendalikannya, keinginan ini akan menjadi sumber masalah. Keinginan ini akan menjadi problem dalam hidup kita. 

Pendek kata, keinginan model kedua ini hanya boleh dipenuhi dalam batas normal, dalam batas wajar, dan dalam jumlah tertentu saja. Jika berlebihan, justru ini akan merusak hidup kita.


Yang ketiga adalah keinginan yang jika kita nekat memenuhinya, hidup kita akan bermasalah. Bukan kebahagiaan yang kita dapatkan, melainkan penderitaan.

Jika pada level pertama, keinginan itu wajib kita penuhi, karena jika tidak, kita akan menderita. Pada level kedua, kita boleh memenuhinya, tetapi dalam batas tertentu. Jika berlebihan, hidup kita akan sengsara. 

Namun, pada level ketiga ini, jika kita memenuhinya, saat itu juga, kita harus bersiap menghadapi penderitaan.

Keinginan level tiga ini adalah keinginan yang kita belum pantas, belum layak menggunakannya, belum layak memenuhinya, atau belum layak mewujudkannya.

Misalnya, kamu ingin membeli mobil baru. Hari ini, kamu punya uang 50 juta rupiah. Orang yang punya uang satu miliar untuk membeli mobil baru, misalnya Fortuner, itu sah-sah saja. 

Kamu dengan uang 50 juta rupiah juga bisa membeli Fortuner, bedanya mereka yang punya uang satu miliar bisa melakukan pembelian itu secara tunai, sementara kamu yang punya uang hanya 50 juta rupiah bisa membelinya secara kredit.

50 juta itu kamu jadikan DP, dan setiap bulannya kamu akan mencicilnya. Apa yang terjadi? Rasanya pasti akan berbeda.

Mungkin awalnya sama-sama bahagia. Mereka yang punya uang satu miliar kemudian membeli Fortuner hari itu dengan tunai merasa senang karena mereka layak dan mampu, karena uang mereka memang ada. 

Sementara kamu yang hanya punya uang 50 juta rupiah mungkin awalnya senang, tetapi ketika waktunya membayar cicilan tiba, saat itulah kamu mulai bingung dan kelabakan.

Pada akhirnya, kamu baru sadar bahwa sebenarnya ini adalah keinginan yang menghadirkan penderitaan.

Jadi, sadar diri dan berkacalah, apakah saya layak memenuhi keinginan ini sekarang? Jangan memaksa diri. Keinginan yang dipenuhi dengan memaksakan diri dan tergesa-gesa adalah keinginan yang bisa menghadirkan penderitaan.


Contoh lain, kamu seorang pekerja dengan gaji UMR berpenghasilan 4 sampai 5 juta rupiah. Kemudian kamu nekat makan di restoran mewah dan menghabiskan uang 1 sampai 2 juta rupiah sekali makan. Artinya, ini adalah keinginan yang sangat berlebihan yang memaksakan diri.

Hanya sekali saja kamu memenuhinya, maka penderitaan akan terasa saat itu juga. Maka, coba pahami dan renungkan, di level mana keinginanmu.

Setiap kita punya hak menginginkan apapun, tetapi kita wajib bijak dalam memenuhinya. Jangan penuhi keinginan yang berada di level ketiga, yang jika kamu memenuhinya sekarang, maka sekarang juga penderitaan itu akan datang.